Selasa, 09 April 2013

Program leaderpreneurship adalah jawaban dari semua penyakit sosial



Sudah berpuluh puluh tahun bangsa ini menyelenggarakan pendidikan nasional dan berkali kali juga mengganti kurikulum nasional sampai keluar jargon ganti mentri ganti kurikulum. Berita terakhir tentang pendidikan nasional ini adalah tentang akan keluarnya kurikulum baru tahun 2013 yang terkesan dipaksakan dan kurang matang. Bahakan banyak yang apatis menanggapi akan munculnya kurikulum teranyar ini. Mereka mengatakan mentri tinggal menjabat setahun kok keluarin kurikulum baru, paling nanti ganti mentri kurikulumnya tidak dipakai lagi. Mentri yang baru akan ciptakan kurikulum baru lagi sebagai penanda kehebatan mereka. Pelajar kita lah yang jadi korban kurikulum akibat angkuhnya birokrat Negara.
Dari sekian banyak kurikulum yang pernah dijajal di Negara ini selalu saja berkutat pada apa yang akan diajarkan dan apa yang tidak perlu diajarkan. Pergantian kurikulum hanya identik dengan perubahan mata pelajaran atau isi dari matapelajaran yang diajarkan. Sementara persoalan pendidikan di Negara ini jauh terletak di tepi yang yang berbeda. Tanggal 6 april minggu lalu dalam sebuah sesi tanya jawab sebuah seminar tentang “leaderpreneurship”, seorang ibu bertanya pada saya, apakah program leaderpreneurship itu adalah pelajaran tersendiri. Yah, ibu ini juga sudah terasuki bahwa program pendidikan itu pasti adaalah sebuah mata pelajaran. “Mata pelajaran ataupun apa yang diajarkan itu bukan focus kami di program leaderpreneurship”, jawab saya. “Dalam program ini penekanannya bukan pada apa yang akan kita ajarkan tapi pada bagaimana kita mengajarkannya, isi pelajaran kita serahkan pada yang berwenang, yaitu kementrian pendidikan, namun bagaimana cara mengajarkannya pada siswa, muatan karakter serta ketrampilan hidup apa yang akan kita tanamkan pada proses pembelajaranlah fokus rekayasa dalam program ini” lanjut saya.
Sidang pembaca yang terhormat, seperti yang kita ketahui sekian kali ganti kurikulum, sekolah sekolah kita hanya berganti matapelajaran yang diajarkan. Cara mengajar dan pendekatan pembelajaran yang dilakukan guru dalam kelas sama sekali tidak berubah. Betul pemerintah telah mendengungkan perubahan dalam methodology pengajaraan semacam CBSA ditahun 80an, kemudian pada tahun 2000an muncul ajakan untuk mengajar dengan cara PAIKEM bahkan ada yang melanjutkan dengan PAIKEM GEMBROT, tapi semua itu tak lebih dari teori saja. Prakteknya masih jauh panggang dari api, tak satupun guru tradisional tahu ataupun diajari bagaimanaa menghidupkan CBSA ataupun PAIKEM diruang kelas. Pada tahun 2012 pemerintah juga keluarkan jurus baru pendidikannya dengan mengajukan 18 KARAKTER yang harus diajarkan pada anak didik. Tumbuhnya kesadaran perlunya character building ini ternyata juga berhenti pada dirumuskannya 18 karakter itu, karena ternyata juga belum ada juklak bagaimana menginternalisasi karakter karakter itu pada pola pikir atau mind set siswa. Semua masih berhenti pada retorika.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk menjelekkan pihak pihak tertentu ataupun unjuk kebolehan sok pintar. Tulisan ini adalah wujud keprihatinan pada makin terpuruknya dunia pendidikan di tanah air. Jaman dahulu lulusan S1 itu adalah graduate kita, namun sekarang lulusan S1 dimata internasional masih dipandang sebagai undergraduate. Sampai akhir tahun 80an, masih banyak mahasiswa luar negri terutama dari singapura, Malaysia sekolah ke Negara kita, sekarang kita yang kuliah ke sana. Keterpurukan pendidikan ternyata bukan berhenti pada downgrade-nya mutu pendidikan Indonesia, tapi yang menyedihkan adalah dampak psikososialnya yang mendorong munculnya masalah masalah social di negeri kita ini.  Meningkatnya kriminalitas, pengangguran, penyalahgunaan obat terlarang, kecandual alcohol dan sederet permasalahan lain maaf maaf kata adalah bukti kegagalan pendidikan kita. Hal ini terjadi karena perubahan kebijakan pendidikan selalu hanya pada perubahan mata pelajaran dan tidak pernah menyentuh aspek lain dari pendidikan yaitu aspek afektif yang berupa kebijakan menyeluruh tentang upaya pembentukan karakter dan pemberian ketrampilan hidup yang paripurna sehingga anak didik bisa menjadi anak yang life-ready seperti kata iklan susu.
Seperti yang saya singgung diatas, perubahan kurikulum selalu saja cuma jatuh pada merubah mata pelajaran, belum pernah ada itikat yang dilakukan untuk merombak seluruh tatanan pendidikan untuk disesuaikan dengan kebutuhan jaman. Artinya kurikulum boleh baru tapi pendidikan tradisionallah yang akan tetap didapat anak didik. Sementara ppola pendidikan tradisonal inilah yang selama ini jadi biang kerok gagalnya pendidikan nasional.
Yang saya maksud sebagai pendidikan tradisional adalah metode pengajaran yang dicirikan dengan hal hal berikut:
1.    Ruang kelas standard berdret deret ke belakang
2.    Pola pengajaran ceramah
3.    Siswa wajib duduk manis dibangku dan mendengarkan guru
4.    Penekanan pada disiplin sangat besar
5.    Gaya belajar yang dipakai auditori
6.    Aktifitas siswa terbatas
7.    Pola pengajaran berputar dari nulis, pidato, tunjuk jari/angkat tangan
8.    Aktifitas seragam
9.    Aktifitas siswa berdasarkan instruksi instruksi guru
10.  Ada penekanan pada siswa untuk menciptakan kelas yang sunyi.
11.  Pengajaran bersifat berurutan, logis, analitis dan matematis.
12.  Bermain pada kemampuan berfikir tingkat rendah (hafal, mengerti, menganalisa paling tinggi)
13.  Stimulasi otak rendah karena penekanan pada hafalan
14.  Evaluasi berdasar pada kemampuan menghafal terutama, dan sedikit pada pengertian.
15.  Evaluasi biasa berbentuk pilihan ganda, pilihan benar salah, soal isianpun hanya mampu dikerjakan kalau siswa hafal materi pelajaran.
16.  Siswa yang hebat adalah siswa yang mendapat skor tinggi dalam test. Itu artinya siswa yang hebat adalah siswa yang punya kapasitas hafalan tinggi.
17.  Dan oleh karena itu artinya pendidikan didasarkan pada pengembangan otak kiri.
18.  Siswa diberi ranking berdasarkan hasil test.

Gaya pengajaran dengan cirri cirri seperti di atas akan berdampak pada kebosanan siswa karena apa yang dialami siswa selama belasan tahun akan terasa monotone.  Rasa bosan yang dirasakan dalam janga yang panjang akan berakibat pada rendahnya motivasi siswa untuk belajar. Ditambah dengan ketidakmampuan sebagian siswa untuk menghafal akan berakibat pada kegagalan mayoritas siswa dalam memenuhi target evaluasi belajar. Kegagalan belajar akan menimbulkan rasa rendah diri dan hilangnya rasa percaya diri. Akumulasi dari semua itu akan menciptakan ketegangan siswa dalam belajar. Prestasi rendaha dan stress siswa ini kalau masih harus ditambah cap bodoh yang dilontarkan guru, kepala sekolah, teman dan orangtua di rumah, maka siswa yang bersangkutan akan merasakan rasa malu yang besar yang akan disusul oleh sikap apatis dan hancurnya mentalitasnya. Mereka akan merasakan sekolah bagaikan neraka, bel akhir sekolah adalah nada yang paling indah yang mereka aharap untuk segera mereka dengar. Saya yakin sidang pembaca pernah merasakan apa yang saya lukiskan ini.
Sayangnya hal semacam ini tidak pernah jadi perhatian serius pemangku kepentingan dan seluruh jajaran birokrasi pendidikan kita. Mereka asyik mengkutak kutik kurikulum, mengganti jenis matapelajaran, menambah atau mengurakan isinya dan sebodo amat dengan proses pendidikan yang akan dilakukan di sekolah.
Sementara di ruang ruang kelas, ada jutaan siswa yang sedang dalam proses dihancurkan masa depannya secara sistematis. Bagaimana tidak dihancurkan, kalau proses pendidikan yang jelas jelas hanya menghasilkan rasa tertekan dan sikap apatis pada diri siswa terus dipertahankan? Prose pendidikan yang sangat buruk ini selain akan menghasilakn prestasi yag rendah juga akan menghasilkan penghargaan diri para siswa juga rendah seiring dengan sering gagalnya siswa dalam mengerjakan test sekolah. Kesulitan belajar yang saya sampaikan ini sebuah fakta yang nyata. Masih bias dilihat disemua sekolah di negri ini.
Model pendidikan semacam ini sudah jelas tidak memebri ruaang pada para siswa untuk mengembangkan diri, bertumbuh dan berkembang. Mayoritas siswa tak akan mampu mengembangkan ketrampilan hidup dan karakter yang diperlukan untuk masadepannya. Mereka tak terbekali untuk menghadapi masadepan mereka sendiri yang masih gelap gulita didepan sana yang penuh dgn onak dan duri serta perubahan yang tak bias diprediksikan.
Bagi siswa yang pasif, mereka akan menyerah pada nasib dan memiliki kecenderungan untuk putus sekolah, tenggelam dalam kepedihan, menyesali diri, hilang percaya diri, tenggelam dalam penyalahgunaan obat terlarang, mabuk mabukan, teller untuk melupakan kepedihan hati dan kegagalannya dan berujung jadi pengangguran atau bunuh diri. Bagi siswa yang punya tenaga berlebih, yang ekstrovert , siswa yang berwatak keras, mereka akan cenderung membuat ulah sebagai manifestasi jiwa pemberontak yang meletup letup dalam dadanya. Merekalah yang pada akhirnya akan membuat onar, berani menentang institusi sekolah, melakukan bullying, terjerumus pada perkelahian masal, mabuk, kecanduan alcohol, penggunaan zat adiktif untuk menambah rasa jantan dan keberanian, lorong yang mereka tempuh bias berujung pada tindakan criminal dan jadi sampah mayarakat.
Sepertinya hal hal seperti ini bias kita saksikan sendiri di sekitar kita. Jelas sekali bagi kita munculnya segala masalah social; criminal, pengangguran, pelecehan seksual, tindak kekerasan, kecanduan, narkoba semua terpulang pada kegagalan dunia pendidikan menumbuh kembangkan siswa menjadi pribadi yang berkarakter dan mandiri. Kita semua telah lalai akan hal ini.
Program leaderpreneurship adalah salah satu program pendidikan yang layak dicoba karena didalmnya siswa tidk akan mendapat perankingan. Tidak ada siswa pintar dan siswa bodoh dalam program ini. Semua siswa sama sejajar dan berkembang bersama menggapai kemampuan dan ketrampilan hidup yang disesuaiakan dengan masa depan yang akan mereka hadapi dan pembentukan karakter unggul yang diperlukan untuk mendukung ketrampilan yang mereka punya.
Kunci dari perubahan system pengajaran bukanlah pada apa yang akan diberikan ada siswa tapi pada bagaimana cara mengajarkannya. Program leaderpreneurship telah secar sistematis merancang sebuah program bagaimana menanmakan karakter dan kretrampilan hidup yang diperlukan siswa dengan penggunaan, pendekatan project dalam pengajaran (project based learning) serta dikuatkan dengan management ruang kelas dan management tingakah laku yang terpilih dan ketat dalm pelaksanaanya.
Dalam program ini kita akan meniadakan semua cirri pengajaran tradisional di atas dan akan diganti denganPRINSIP PRINSIP DASAR PENDIDIKAN ABAD 21

Minggu, 24 Maret 2013

Mengapa Pendidikan berbasis leaderpreneueship program diperlukan?




Saya sendiri tidak tahu persis sejak kapan dan kenapa pendidikan itu selalu dikaitkan dengan kemudahan mencari pekerjaan yang enak dan bergaji tinggi. Semua orang yang sekolah dan semua orangtua yang mengirimkan anaknya ke bangku sekolah punya harapan yang sama agar selepas sekolah, mereka atau anak mereka akan mudah mencari pekerjaan. Makin tinggi anak di sekolahkan makin tinggi juga harapan orangtua agar anaknya dan siswa yang sekolah itu sendiri untuk mendapatkan pekerjaan yang mantap dengan gaji besar dan hidup mapan. Persepsi bahwa sekolah merupakan pintu gerbang untuk berebut pekerjaan sudah sangat kuat tertatanam dalam maind set masyarakat kita, bahkan mungkin masyarakat dunia.
Namun begitu, ternyata realitas punya logikanya sendiri. Tidak semua yang sekolah tinggi bias dapat pekerjaan. Tidak semua juara kelas jadi direktur. Sebaliknya tidak semua anak badung di kelas berakhir jadi gelandangan. Namun, realitas nampaknya tinggalah realitas, keyakinan bahwa anak sekolah harus jadi pegawai seperti tak tergoyahkan dari benak kita. Akibatnya tatkala mereka benar benar lulus sekolah, lulus kuliah, mereka tidak bertindak layaknya seorang intelektual, tapi lebih mirip robot yang terprogram. Langkah yang mereka ambil seragam, tulis surat lamaran. Kalau mereka harus menelan pil pahit tidak mendapatkan kesempatan kerja, mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa, karena mereka hanya punya satu program, cari kerja. Kalau program ini tidak jalan. Aka mereka tidak punya program cadangan. Softwarenya Cuma satu, program cari kerja. Padahal seharusnya sebagi orang yng berpendidikan, mereka tidak sepatutnya bertindak seperti robot yang bergerak berdasarkan program. Mereka seharusnya mampu berfikir, bertindak secara dinamis dan kreatif sesuai dengan tingkat pendidikan masing masing. Kenapa hal ini tidak dijalankan? Jawbannya balik lagi ke pembicaraan awal, mereka sudah terindoktrinasi untuk mencari kerja, bukan yang lain.
Salahkah itu? Ini bukan masalah salah dan benar, tapi masalah pilihan hidup. Kalau apa yang terjadi menurut pembaca baik baik saja, ya tentu indoktrinasi macam itu tidak salah. Tapi bagi sebagian yang berfikir seharusnya tidak seperti itu, berarti mind set masyarakat tentang pendidikan itu ada yang keliru dan perlu perubahan yang mendasar, agar nantinya lulusan sekolah dan lulusan perguruan tinggi tidak buntu kalau tidak dapat pekerjaaan. Mereka mampu memeperkerjakan diri mereka sendiri.
Bagi golongan yang kedua ini, tentu akan setuju kalau kita usulkan adanya perubahan pola pendidikan di sekolah sekolah kita. Sekolah harus mampu merubah mind set siswa dari mind set lama pencari kerja menjadi mind set baru yang mendorong siswa untuk mengekplorasi semua kemungkinan kreatif untuk dijadikan jalan kehidupan yang lebih baik. Untuk maksud ini, sekolah harus meramu dan mengkonstruksi model pendidikannya agar mind set lama hilang dan berganti dengan mindset baru yang tertanam pada benak siswa dan orang tua siswanya. Artinya sekolah harus mampu menciptakan mind set baru bagi masyarakat.
Program penidikan LEADERPRENEURSHIP yang menggabungkan ketrampilan hidup kepemimpinan dan kewirausahaan adalah salah satu jawaban dari kekeliruan pola pendidikan yang ada sekarang ini. Setidaknya ada empat alasan utama kenapa program leaderpreneurship itu diperlukan untuk merombak kemapanan dan kemapetan mind set masyarakat tentang pendidikan ini;
1.    Sumber daya alam yang sudah menipis.

Pendidikan yang ada sekarang ini sebetulnya adalah  model pendidikan abad 18an. Abad dimana mulai ditemukannya mesin dan terjadi revolusi industry yang merubah masyarakat agraris menjadi masyarakat industry. Pendidikan ditujukan untuk mencetak tenaga tenaga trampil yang memiliki pengetahuan tentang permesinan, sehingga bisa masuk ke dunia industry yang menekankan pada bidang produksi, yaitu pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi. Mereka di sekolah selain diajari baca tulis juga diajarkan untuk memahami ilmu pengetahuan. Penulis sangat yakin mindset sekolah untuk mencari kerja itu terbentuk sejak jaman ini. Karena sekolah ditujukan untuk menghasilakn tenaga kerja yang berpengetahuan maka pola ajarnya adalah guru menyampaikan materi sang murid harus menyerap apa yang disampaikan guru kalau ingin disebut pintar. Inilah rupanya jawaban kenapa sekolah adalah tempat siswa menghapalkan pengetahuan. Ujiannya pun tentu saja akan berbentuk soal soal yang dapat dijawab dengan hapalan. Dan seperti sejak saat itu juga pola pengajaran berpusat pada guru dilakukan, sejak saat itu pula murid itu wajib jadi penghafal mata pelajaran sampai saat ini. Namun yang perlu kita pahami adalah bahwa saat ini sumber daya alam sudah tidak semelimpah abad 18 lagii. Sumber daya alam sudah mulai langka dan perekonomian sudah tidak bertumpu pada penciptaan barang jadi. Dengan begitu pola pendiddikan yang ada juga otomatis menjadi rombeng. Mindset kita seharusnya juga harus diganti. Tapi sayangnya masyarakat belum sadar mindsetnya salah dan sekeloah juga belum ngerti kalau sudah tersesat.


2.    Terjadinya perubahan sosio-kultural dan perekonomian masyarakat

Seperti sudah penulis uraikan diatas, bahwa tumpuan ekonomi sdh tidak lagi pada industrialisasi karena semakin menipisnya sumberdaya alam. Perekonomian sudah lama bergeser dari perekonomian berbasis industry kearah perekonomian yang lebih modern yang berbasisi informasi dan bahkan kini perekonomian yang berbasis real time information pun telah usang dan kini kita masuk pada era ekonomi kreatif.  Perubahan perubahan landasan perekonomian ini tidak berjalan sendirian, tapi dibarengi dengan perubahan tehnologi yang dipakai masyarakat. Itulah sebabnya dua decade terakhir ini kita menyaksikan perubahan tehnologi informasi yang begitu pesat. Tehnologi itu berubah bukan semata mata karena banyak orang pintar bisa menemukan alat ini alat itu, namun sesungguhnya perubahan tehnologi itu mendukung perubahan system ekonomi yang diperlukan masyarakat manusia. Karena system ekomoni yang baru tidak mungkin bisa ditopang dengan peralatan yang lama. Bagaimana dengan dunia pendidikan? Ternyata dunia pendidikan masih tertidur pulas dan tidak menyadari perubahan perubahan ditingkat makro social masyarakatnya. Pendidikan usang abad 18 masih juga dipertahankan.


3.    Perubahan ketrampilan hidup yang diperlukan dalam dunia kerja.

Mengingat telah terjadi perubahan yang sangat signifikan di dalam pola dan landasan perekonomian dunia, yang ditemani pesatnya perkembangan tehnologi, maka sudah dapat dipastikan bahwa tenaga kerja yang terlibat dalam system perekonomian terkini haruslah memiliki kompentensi yang berbeda dari tenaga kerja lama di jaman lama. Ketrampilan yang kita ajarkan di abad 18-19-20 tentu sudah tidak akan relevan dengan keperluan ketrampilan yang kan dibutuhkan di abad 21. Namun kenapa sekolah masih mengajarkan ketrampilan yang lama, ketrampilan abad 18-19? Tidak sadarkah bahwa pekerjaaan yang kemarin ada di abad 20 sekarang sudah banyak yang hilang dan tidak ada lagi di abad 21? Dan tidakkah kita menyaksikan banyak pekerjaan pekerjaan baru yang muncul di abad21 ini yang mana pekerjaan itu tak terpikirkan adanya di abad sebelumnya? Tidakkah kita melihat cara pandang kita, cara bergaul kita, hubungan kekerabatan kita, hubungn kemasyarakatan kita, cara berinteraksi dan cara berkomunikasi antar manusia juga sudah berubah? Tapi kenapa sekolahan dan pendidikan tidak berubah?


4.    Perubahan kesadaran dalam bidang pendidikan secara global.

Sekarang masyarakat dunia sudah mulai menyadari bahwa system pendidikan kita telah usang dan perlu diganti. Terjadi perubahan kesadaran dan perlunya merombak  pola pendidikan yang merata diseluruh dunia. Mereka menamainya dengan pola pendidikan abad 21. Sebuah pola pendidikan yang mencoba menjawab tantangan zaman dan memenuhi kebutuhan pendiidkan yang sesuai dengan jaman sekarang. Pola pendidikan ini ditandai dengan, sifatnya yang lebih terbuka, yang bebas resiko dengan mengutamakan keamanan dan kenyamanan dalam belajar, mejadi tempat berbagai informasi, tempat mengembangkan diri dan yang jelas sekolah akan mereka jadikan tempat yang mendorong siswa untuk menggunakan kemampuan mereka berfikir tingkat tinggi, bukan lagi menjadikan sekolah sebagi tempat untuk menghafalkan pelajaran lagi. Baca juga: PRINSIP PRINSIP DASAR PENDIDIKAN ABAD 21

Program leaderpreneurship adalah salah satu upaya untuk menjawab tantangan jaman ini. Untuk lebih jelasnya tentang program ini, baca juga artikel kami yang berjudul, Menawarkan Program Pendidikan Leaderpreneurship pada Dunia pendidikan Indonesia


Rabu, 13 Maret 2013

Sedikit Masukan bagi Program Kewirausahaan Kemendiknas




Dari apa yang saya dengarkan di Radio Elshinta  beberapa hari yang lalu, saya bisa tarik kesimpulan bahwa pemerintah, lewat kementrian pendidikan telah menyadari perlunya jiwa kewirausahaan ditanamkan pada para siswa agar pemuda kita  punya pola piker yang lebih baik, yaitu sebuah pola piker yang mengarah  pada penciptaan lapangan kerja dan bukan hanya punya pola pikir yang mengarahkan pemuda Indonesia  untuk berlomba mencari kerja setelah selesai dari bangku sekolah maupun bangku perkuliahan.
Kita sebagai warga Negara yang baik haruslah bersyukur dan mendukung langkah departemen pendidikan ini. Bersyukur karena kesadaran untuk menciptakan wirausahawan wiraushawan handal sudah bertumbuh di pemikiran dan bahkan di kebijakkan pemerintah kita. Artinya kita bisa berharap, kalau upaya ini berhasil dalam waktu dekat Negara ini akan semakin maju dan pertumbuhan ekonominya akan semakin pesat berkat kreatifitas dan inovasi yang dibuat oleh para pengusaha dan wirausahawan muda kita.  Mendukung, tentu upaya pemerintah itu tidak akan berhasil tanpa partisipasi dan dukungan kita sebagai warga negaranya.
Namun begitu, ada sedikit catatan yang perlu saya sampaikan atas program kewirausahaan yang digagas pemerintah ini, bukan untuk menggurui ataupun untuk berlagak sok pintar, tapi saya ingin bahwa pemerintah membuat program yang sangat bagus dan brilian ini sematang mungkin.  Jangan sampai program yang dicanangkan pemerintah bubar dijalan atau tidak mengarah pada target yang diharapakan hanya karena program dibuat tergesa gesa  dan tidak matang. Bukan apa apa,  program kewirausahaan ini adalah bagian dari kurikulum baru 2013 yang oleh beberapa pengamat pendidikan juga dibuat dianggap sebagai kurikulum yang amat tergesa gesa juga pembuatannya. Jadi wajar saja kalau saya sinyalir program kewirausahaan ini juga amat tergesa gesa jadinya.
Dari apa yang disampaiakan salah seorang pejabat Kemendiknas yang diwawancarai oleh penyiar radio Elshinta waktu itu, bisa saya tarik kesimpulan bahwa program pengembangan kewirausahaan itu akan dilakukan disekolah sekolah, terutama SMK, dalam bentuk matapelajaran tersendiri yang disebut  mata pelajaran “kewirausahaan”. Lebih lanjut disampaikan bahwa kemendiknas meminta masyarakat membantu menyebarkan mind set kewirausahaan ini kepada para siswa dengan tidak mengharapkan anak anaknya bersekolah untuk cari kerja tetapi lebih di dorong untuk mampu berusaha sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, pak pejabat ini menegaskan bahwa  sudah seharusnya sekolah mulai membuat hubungan dengan pengusaha untuk bisa menyerap ilmu kewirausahaan langsung dari praktisi wirausaha dan juga mencari dukungan atas program kewirausahaan yang dijalankan sekolah. Bahkan waktu itu ada penelepon yang mengaku pengusaha mau membantu sekolah untuk jadi guru kewirausahaan.
Memang sepertinya semuanya baik dan tidak ada masalah. Permintaan meminta pada warga masyarakat untuk membantu menyebarkan mind set wirausaha  adalh tindakn yang benar, karena semua tindakan dipengaruhi oleh mind set, dan sebagi warga tentu kita harus turut serta membantu pemerintah mensukseskan program yang luar biasa bagus ini. Bantuan pengusaha dan wirausahawan juga tidak kurang pentingnya untuk mensukseskan program penciptaan entrepreneur entrepreneur muda di Negara ini. Anmun yang membuat janggal dari program ini adalah bahwa pendidikan kewirausahaan Cuma disimplifikasi dalam bentuk mata pelajaran. Seakan akan sebuah kurikulum itu hanya sekedar urusan tentang mata pelajaran, bahkan lebih bikin trenyuh dihati, seminggu yang lalu saat saya bincang bincang dengan salah satu kepala sekolah swasta, pak kepla sekolah ini mengatakan bahwa program entrepreneurship pemerintah untuk jenjang smp/sma hanya akan berbentuk pelajaran prakarya. Saya agak sedikit bengong mendengarnya. Apakah ini hasil ketergesaan pemerintah dalam membuat kurikulum?
Coba kita melihat lagi jauh kebelakang.  Pelajran kewirausahaan itu bukan barang baru bagi anak anak SMK ataupun SMEA pada waktu yang lalu. Pelajaran prakarya itu sudah lama dinikmati oleh siswa Indonesia, bahkan sejak awal tahun 1970an sudah ada peljaran prakarya disekolah sekolah kita. Apakah itu semua membantu menciptakan wirausahawan?  Jawabannya tentu saja tidak, kalau jawabn iya tentu tidak aka ada wacana pengembangan kewirausahaan lagi di kemendiknas bukan? 
Semua program ini sudah lama dilakukan dan gagal, kenapa harus diulang lagi? Sudah seharusnyalh kita membuat program baru yang lebih mengena, jangan lagi kita  berharap daur ulang  produk gagal yang sudah diuji cobakan.
Kalau saya boleh ikut urun rembug, program pengembangan kewirausahaan ini seharsunya berbentuk program yang sangat komprehensif yang mampu melakukan brainwashing pada siswa Indonesia, rminset seorang entrepreneurs sejati, bukan sekedar lulusan sekolah dengan mind set kuli yang punya pengetahuan tentang kewirausahaan.  Dan hal ini tentu saja sangat tidak cukup kalau program yang sangat bagus ini disederhanakan dengan pemberian mata pelajaran kewirausahaan dan prakarya.
Boleh saya katakana, yang jadi sangat penting bukanlah kewirausahan, karena pelajaran Cuma akan menjadi pengetahuan dan pemahaman tapi tidak akan pernah menjadi karakter dan mind set siswa. Artinya dengan belajar danpaham kewirausahaan tidaklah sekonyong konyang orang akan jadi pengusaha, karena untuk jadi pengusaha orang butuh kreatifitas, butuh keberanian menghadapi resiko, butuh kemampuan negosiasi, butuk memapuan intra dan ekstra personal, butuh juga jiwa kepemimpinan dan lain sebagainya.  Dan hal ini semualah yang sejatinya sangat vital bagi seorang entrepreneur, bukan pengetahuan yang bisa dibukukan itu atau ketrampilan tangan yang bisa dilatihkan. Oleh karena itu saya, dengan tulisan pendek ini, Cuma mengajak semua kalangan untuk berfikir ulang dalam menerapkan program kewirausahaan ini.
Yang kita perlukan sekali lagi bukan pelajaran kewirausahaan tapi, sebuah metode pengembangan karakter peserta didik sehingga nantinya akan didapatkan lulusan yang memiliki karakter dan profile pengusaha. Jadi focus kita adalah pengembangan pendekatan pembelajaran bukan pada pengembangan mata pelajaran itu sendiri, kalau kita memang menginginkan bertumbuhnya entrepreneurship muda di Negara kita. Kita harus mengandaikan adanya sebuah program komprehensif yang bisa memastikan pengembangan karakter, pengembangan ketrampilan dan pengembangan profile pelajar pengusaha dalam sebuah sistem pendekatan pengajaran, bukan pada sebuah mata pelajaran. sebuah program pendektan pengajaran yang mampu memastikan siswa menyerap ketrampilan hidup kepengusahaan yang yang lengkap dengan penanaman karakter kepemimpinan dan karakter kewirausahaan yang komprehensif.
 Ada sedikit sumbangan pemikiran dari kami bagaimana mengembangkan karakter pengusaha pada diri siswa, bapak ibu bisa baca di…

Menawarkan Program Pendidikan Leaderpreneurship pada Dunia pendidikan Indonesia

blog ini juga. Semoga bermanfaat bagi sidang pembaca. krsitik saran, pertanyaan bisa bapak dan ibu tulis di kolom komentar dibawah ini....

Selasa, 26 Februari 2013

Menawarkan Program Pendidikan Leaderpreneurship pada Dunia pendidikan Indonesia



Dibanyak kesempatan dan juga ditulisan tulisan kami di blog ini, berulang kali kami telah paparkan kelemahan sistem pendidikan yang ada dan akibat buruknya yang sudah terjadi dan betapa pentingnya untuk tidak dilanjutkan. Sebagai solusi pengembangan program pendidikan yang lebih baik, yang mengakomodir semua keperluan siswa untuk bertumbuh dan berkembang, di dalam tulisan yang buruk ini, saya mencoba untuk menawarkan sebuah program pendidikan dan bertukar pikiran tentang program pendidikan yang kita sebut saja Program leaderpreneurship.
Sebuah program yang mampu mengakomodir perkembangan kognitif, berupa peningkatan kecerdasan dan bertambahnya ilmu pengetahuan peserta didik, juga perkembangan psikomotorik siswa yang akan menghantarkan siswa pada ketrampilan hidup secara fisik dan juga akan mendorong bertumbuhnya perkembangan afektif siswa yang berupa perkembangan karakter karakter unggul, sikap mental, dan berkembangany ketrampilan hidup siswa secara psikologis lainnya.
Program ini kalau dijalankan dengan benar akan menuntun siswa untuk mampu menyerap ilmu dengan lebih mudah dan lebih nyaman karena siswa tidak dalam tekanan. Juga mendorong siswa untuk memiliki kecakapan hidup yang beragam. Selain itu, program ini juga mengarahkan siswa untuk memiliki karakter yang dinamis, aktif, persuasive, komunikatif, kreatif dan inovatif. Siswa juga akan didik untuk bisa memiliki kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pasar, serta mampu mendeteksi peluang peluang inovasi dan peluang peluang pasar. Pendek kata ketiga aspek penting pendidikan, mulai dari ranah kognitif (daya nalar), afektif (character) sampai dengan ranah psikomotorik (ketrampilan dan kreatifitas) semua diramu dan dikembangkan secara seimbang dalam kurikulum leaderpreneurship program ini.
              Dalam pelaksanaan kurikulum leaderpreneurship ini, kami meramu cara untuk membentuk siswa menjadi pemimpin masa depan melalui tiga tahapan belajar yang kami sesuaikan tahapan taksonomi pembelajaran yang mulanya digagas oleh Benyamin Bloom. Namun kita tidak mengaplikasikan begitu saja taksonomi bloom ini, namun kita bisa modifikasi sedikit agar juga sesuai dengan tiga ranah pendidikan (kognitif, afektif dan psikomotorik)yang akan dicapai dalam proses pengajaran disekolah. Tahapan belajar tersebut adalah berikut ini:

1.   TAHAP EXPLORATION.
Pada tahap ini anak akan belajar mengembangan intelektualitas atau dengan kata lain pengembangan aspek kognitifnya akan lebih menonjol. Namun tentu saja siswa tidak akan hanya belajar pintar saja di tahap ini, namun sesungguhnya pengembangan karakter (afektif) pun sudah pula berjalan. Dengan membagi dua bagian pada tahap ini kita berharap banyak charakter cantik yang tertanam di diri siswa. Pada bagian ‘data collecting”, sebetulnya siswa bukan saja diajarkan untuk memupuk dan mengembangkan intelektualitas mereka, tapi siswa juga sudah dirangsang untuk mengembangkan rasa keingintahuannya, rasa tanggung jawab, pengorganisasian diri,pengorganisasian informasi dan manajemen waktu. Pada bagian reporting siswa akan mengasah kemampuan mereka berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan, selain akan berkembang pula rasa percaya dirinya dan kejujurannya serta kemampuan menghargai karya dan pendapat orang lain. Watak lain yang berkembang antara lain kemampuan menerima perbedaan, belajar mengenal diri sendiri, mengenal orang lain, dan percaya diri.
2.   TAHAP APPLICATION

Pada tahap ini siswa akan
melalui sebuah proses belajar yang akan mendorong siswa meningkatkan kemampuan psikomotorik atau ketrampilannya, walau juga masih terbuka lebar bagi siswa untuk menginternalisasi watak dan karakter cantik lain dalam dirinya. Tahap ini juga mempunya dua bagian; bagian pertama, planning dan yang kedua creating.
Pada bagian pertama, panning, siswa akan belajar ketrampilan kepemimpinan dan mangemen, karena siswa akan membuat perencanaan proyek, menetukan besaran biaya, menentukan berapa lama waktu yang diperlukan serta siapa saja dan berapa banyak orang yang akan terlibat. Dengan demikian siswa akan belajar bekerja sama, belajar manajemen keuangan, manjemen waktu, manajemen sumberdaya manusia, belajar berorganisasi, belajar memimpin, belajar bisa dipimpin, belajar mendengarkan orang lain, belajar mengemukakan pendapat, belajar bertoleransi, mampu berfikir aktif dan kreatif, mampu membuat analisa analisa dan mampu berfiki sintesis dan membuat perencanaan inovatif , selain itu siswa belajar memanage waktu, mampu membuat tahapan pengerjaan sebuah project, mampu menghitung cost, dan prediksi keuntungan yang bisa didapat dari projek itu. Pada bagian ‘creating’ siswa dimungkinkan belajar ketrampilan hidup, belajar mencipta sesuatu dan mengembangkan aspek psikomotoriknya. Selain itu siswa juga belajar management waktu, financial dan sumber daya manusia, dan pengembangan kemampuan komunikasi serta kerjasama. Diatas semua itu dalam tahap ini siswa diharapkan mampu membuat terobosan baru, inovasi baru atau produk baru yang bisa di serap pasar sehingga nantinya siswa bukan Cuma siap kerja tapi siap jadi pemberi kerja orang lain.

3.
 TAHAP EVALUATION
Walauapun disemua tahapan siswa dipastikan akan berkembang aspek pembentukan karakternya (afektif) namun ditahapan terakhir ini, aspek pembentukan karakter (afektif) sangat terasa dominan. Pada bagian pertama tahap ini, market testing, siswa diajak belajar kemampuan komunikasi dan mengembangkan kemampuan daya nalarnya, pengembangan ketrampilan inter dan intrapersonal, kemampuan mawas diri, dan kemapuan untuk menerima kritik serta masukan, dan siswa belajar menerima keberhasilan ataupun kegagalan dengan sikap yg dewasa dan elegan. Pada baian refleksi, siswa diajarkan untuk berani berkaca pada diri sendiri, melihat kelemahan diri dan berani membuat keputusan untuk mampu mengeliminir kelemahan sehingga muncul kekuatan baru dalam diri siswa. Siswa diajarkan mencari akar permasalhan yang dihadapi dan seklaigus mencari solusinya (problem solving)
        Dalam ketiga tahapan belajar ini kita akan memasukkan seluruh karakter kepemimpinan dan kewirausahaan sebagai kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum) agar siswa siswi kita benar bisa terbentuk dengan karakter dan profil siswa seperti yang saya sebutkan dimuka. Dan dengan lima tahapan pembelajaran tersebut Sekolah akan mencetak murid murid atau siswa siswinya menjadi pemimpin pemimpin masa depan yang matang intelektualitas dan mentalnya serta memiliki kepekaan terhadap perubahan dan punya emphati terhadap sesama.
                Dengan program leaderpreneurship ini kita akan memberikan kebebasan seluas luasnya pada siswa untuk mengembangkan diri sehingga seluruh potensi yang ada dan seluruh kecerdasan yang dimiliki siswa bisa berkembang sempurna.

Senin, 25 Februari 2013

yang saya harapkan ada di kurikulum baru tahun 2013



Pernahkan sidaang pembaca merasakan begitu tersiksanya batin berada diruang kelas, ingin rasanya sekolah segera berakhir dan tidak lagi dengar suara pak atau bu guru? Sehingga saat bel sekolah berakhir berdentang, terasa lega rasanya. Cuma sayang kita sadar besok harus balik lagi ke sekolah dengan situasi yang sama lagi. Capek dech!!!! Puluhan juta siswa dan bekas siswa pernah mengalami hal tersebut, dan anda salah satunya mungkin.
Kenapa hal seperti itu bisa terus terjadi? Jawanya adalah hal ini terkait dengan kurikulum dan cara ngajar guru yg kurang tepat. Kurikulum yang bermain pada kemampuan berfikir kelas rendah,menurut taksonomi bloom, yang menekankan pada pemahaman dan kemampuan menghafal telah menjadikan sekolah terasa seperti penjara yang menghancurkan semangat hidup dan harga diri siswa selama ratusan tahun. Seperti yang kita pahami kemampuan menghafal manusia begitu terbatas, sehingga sudah bisa dipastikan tidak akan banyak siswa yang akan berhasil ‘pintar” disekolah. Siswa berprestasi adalah sesuatu yang langka, padahal seharusnya setiap siswa punya hak yang sama untuk berprestasi. Dan sekolah punya kewajiban untuk membuat semua siswa berprestasi. Namun seperti yang diterangkan diatas. Sekolah jarang sekali menghasilkan siswa berprestasi. Artinya misi sekolah gagal total.
Kita mungkin tidak terlalu peduli apa yg sudah dihasilkan oleh sekolah sekolah kita. Sehingga murid yang tidak berprestasi yang jumlahnya hampir sama dengan seluruh murid yang ada, dianggap biasa saja. Padahaal itu bukan hal yang biasa saja. Itu kegagalan dan itu adalah bencana nasional. Ketidak berhasilan siswa untuk berprestasi akan berbuntut pada rendahnya mutu SDM negara ini. Rendahnya mutu SDM akan berdampak pada kemajuan negara. Kemajuan negara akan berpengaruh pada kemakmuran dan harga diri serta kehormatan bangsa. Tapi anehnya kok tidak banyak orang yang peduli dengan kegagalan pendidikan nasional kita ini yah? Kacau dech...ya itulah kenapa kita yang kaya sumberdaya alam merdeka sudah lebih 65 tahun masih jadi negara yg dibilang sebagai “such a random country” oleh seorang penyanyi muda yang otaknya juga ga begitu encer. Akankah kita mau mulai peduli?
Ya uwis lah, kita kembali saja ke dunia pendidikan. Sekolah sekolah kita seperti yang saya tulis di atas dalam proses belajar mengajarnya masih dititik beratkan pada ketrampilan berfikir rendahan. Proses berfikir rendahan yg berisi usaha untuk menghafal dan ngarti ternyata gagal membuat siswa “pintar” apalagi berprestasi (sorry kok jadi diulang ini ngomongnya?). Sementara ketidakberhasilan untuk ‘pintar’ bagi siswa disekolah akan menimbulkan rasa kurang percaya diri, dan  rasa tidak mampu pada diri siswa, dan ini akan diperparah kalau sang guru sering memposisikan siswa sebagai siswa yang bodoh dan yang pintar. Bagi siswa yang pintar tentu akan tumbuh kebanggaan pada diri sendiri. Tapi bagaiamana siswa yang mendapat jatah posisi dibodoh bodohkan sepanjang masa oleh semua gurunya? Siswa yang terposisi seperti ini, akan malu pada saat itu dan habis harga dirinya saat sang guru menunjuknya sebagai contoh siswa yang bodoh. Dalam jangka panjang, siswa ini akan merasa bahwa jadi pecundang adalah nasibnya, sikap apatis dan sebodo amat akan menjadi ciri kepribadiannya. Menjadi siswa yang baik atau siwa yang bengal akan terasa sama saja bagi mereka, karena sejarah mereka sudah mati disekolah itu. Masa depan sudah tidak nampak di mata mereka. Agar merasa juga punya kelebihan dibanding teman temannya, mereka akan cenderung memposisikan sebagai siswa nakal. Dengan menjadi nakal, siswa akan merasakan dua hal; satu, dia akan punya alasan kegagalan belajarnya, karena mereka bisa bilang aku gagal sekolah karena saya badung. Yang kedua, mereka walau merasa kalah dalam bidang akademik, tapi mereka akan bangga karena ternyata mereka lebih bernyali dihadapan guru dan sekolah sebagai institusi belajar, dan mereka pun akan panen perhatian. siswa badung itu semakin direndahkan dengan ditunjukan kegagalannya di sekolah atau di kerasi karena sikap menyimpang mereka, mereka bukan sadar dan memperbaiki diri, tapi malah akan makin tak bisa dikendalikan. Hal ini terjadi karena  mereka telah terluka harga dirinya.
Oleh karena itu sudah selayaknya sekolah punya pendekatan pendidikan yang tidak melukai harga diri siswa. Terlukanya harga diri siswa  akan membaut sekoalh seperti neraka bagi siswa. Kalau siswa sudah pada posisi memandang sekolah seperti neraka, apalagi yang bisa siswa harapkan dari sekolah, dan apa yang bisa diharapkan oleh sekolah dari siswa tersebut? Oleh karena itu penataan pendekatan dan penentuan metodologi pengajarn di sekolah haruslh menjadi prioritas yang besar yang harus diselesaikan sekolah dan dijadikan kebijakan secara menyeluruh sebelum prose belajar mengajar terjadi. Hal ini perlu dilakuakn agar semua siswa yang ada adalah siswaa yang berhasil. Siswa yang berprestasi.
Ada baiknya sekolah mulai memikirkn untuk tidak hanya mengajarkan berfikir tingkat rendah pada siswanya, karena terlalu rendahnya target berfikir siswa teryata malah membawa bencana baik padaa siswanya maupun pada masyarakat bangsa dan negara. Mulai sekarng kita harus menyadari bahwa  kegagalan menghafal yg ditandai nilai buruk dalam ujian adalah palu godam yang menghancurkan rasa ingin tahu siswa, merasa bodoh dan dengan iklas menerima kondisi bodoh itu, dan malah memposisikan pada ujung yang lain sebagi siswa badung. Tentang masa depan mereka ga pikirkan lagi. Mereka pikir masa depan hanya milik orang pintar, dan kebetulan orang pintar itu bukan mereka. Maraknya tawuran pelajar adalah contoh konkrit dari siswa yg sdh tidk berfikir ttg masadepan, karena mereka selalu merasa bodoh di sekolah yang artinya tidak punya masa depan. Jadi sepertinya sekolah kita hanya menghasilkan banyak lulusan yang berhasil dihancurkan semangat dan mentalitasnya, ketimbang siswa yg telah berhasil dididik dgn benar.
Kalau boleh berpandepat hal ini sumber pokok masalahnya adalah pendekatan pembelajarn yang textual dengan ngedepankan cara berfikir rendahan yang mengacu pada kemampuan mengerti dan hafal thok. Dan ini dilegitimasi dengan  bentuk evaluasi yang sangat beraroma hafalan. Padahal adaa bentuk evaluasi yang lebih baik yang disebut evaluasi autentik yang tidak akan membuat siswa kita terpecah jd yang pinter dan yang bodoh, namun kok kesadaran pendidikan kita belum kesana. Untuk kurikulum yang baru di tahun 2013 ini saya sangat berharap, pak mentri membuat kebijakan kurikulum yang tidak memperpanjang situasi yang saya gambarkan ini.

Pendidikan Abad 21 Wajib Mendorong Siswa Untuk Melek Informasi.

  Sudah berulang kali penulis sampaikan bahwa pendidikan di abad 21 haruslah bersifat berbagi informasi, tidak lagi bersifat penyuapan inf...